Ketika Cinta Harus diuji

3/29/2017
Hasil gambar untuk Ketika Cinta Harus diuji 

Ketika memutuskan untuk menikah, sebuah keputusan yang teramat vital, pastinya setiap pasangan telah yakin dengan pilihannya. Dan, menurut Rasulullah SAW, sekufu atau setara minimal dalam pernikahan adalah dalam dien atau agama.
Dalam menjalani biduk rumah tangga, tentu tidak selalu berhiaskan madu. Konflik, friksi seakan menjadi bumbu dalam prosesnya. Pada awal pernikahan, rasanya klop saja, semuanya serba indah. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, mulai muncul masalah. Seakan ada kesenjangan pada diri masing-masing. Sebenarnya apa yang terjadi?

Ketika memutuskan untuk menikah, sebuah keputusan yang teramat vital, pastinya setiap pasangan telah yakin dengan pilihannya. Dan, menurut Rasulullah SAW, sekufu atau setara minimal dalam pernikahan adalah dalam dien atau agama. Selebihnya, baik harta, keturunan, fisik, intelektual atau yang lainnya adalah kondisi ideal yang diharapkan. Maka, ketika dalam proses perkembangannya, suami atau istri merasakan ada beberapa hal yang sepertinya tidak match lagi, atau perbedaan harapan makin kentara, inilah awal mesti dilakukannya perbaikan, up grade dalam relasi suami istri.
Jika ditelusuri, ada beberapa indikasi yang menunjukkan mulai adanya kesenjangan perasaan dalam hubungan rumah tangga, di antaranya adalah kurangnya kemampunan komunikasi dengan pasangan. Atau, komunikasinya mulai tidak nyambung, sehingga rasanya lebih nyaman diskusi dengan lingkungan eksternal daripada dengan suami atau istri sendiri. Bisa jadi, hal ini terjadi karena tingkat intelektualitas yang berbeda, atau tingkat pemahaman yang berbeda, tertinggal pada salah satu pasangan.

Gejala lainnya adalah menganggap masalah yang terjadi secara parsial, atau problem masing-masing pasangan, bukannya masalah bersama. Bisa jadi, karena kurang pandai menata empati pada pasangannya. Dan, biasanya alih-alih menyadarinya dan berupaya mencari solusi, malah bingung, cemas, sedih, dan berpendapat sudah tidak cinta lagi.
Kesibukan masing-masing dalam aktivitas kesehariannya pun turut andil menciptakan kesenjangan ini. Pada era ketika peran public juga diraih kaum hawa, bila tidak pandai menjaga hati, menyiasati waktu, relasi dengan suami dapat menjadi seperti membosankan, tidak harmonis. Diperparah lagi jika saling komparatif dengan lingkungan luar, kenapa ya suami saya kok tidak sebaik Bapak A, misalnya.

Baca Juga : Tips agar Allah menolong kita

Maka, ketika cinta kita harus diuji dengan kesenjangan yang terjadi, mulailah bersegera melakukan perbaikan. Karena sebenarnya, setiap rumah tangga telah memiliki modal awal, yaitu cinta. Hanya saja, dalam pengelolaannya tidak selalu berjalan lancar, ada hal-hal yang harus selalu diupayakan untuk melestarikan cinta.
Untuk itu, sebaiknya proses pengenalan karakter, kecenderungan, tabiat harus selalu dilakukan. Agar setiap kita dapat memberikan perlakuan yang sesuai kepada pasangan. Apalagi, pada dasarnya sifat laki-laki memang berbeda (maskulin), sedang perempuan lebih cenderung feminin. Setiap kita harus sangat menyadari perbedaan yang fitrah pada pasangan kita. Misalnya, kaum Adam lebih mengedepankan egonya, mengabaikan hal-hal sepele, sebaliknya perempuan sangat sensitif, dan detil. Dalam literatur lainnya, dijelasakan laki-laki tidak pandai mengetahui harapan pasangannya, sehingga seringkali istrinya menjadi kesal, karena menganggap penting sesuatu yang bagi laki-laki cenderung kurang penting. Dan, banyak hal lainnya yang secara psikis membedakan laki-laki dan perempuan. Nah, jika kita kurang memahami perbedaan ini, khawatir akan terlalu banyak harapan pada masing-masing. Maka, menerima realitas yang ada pada pasangan adalah sebuah kemestian. Bukanlah Qur’an menyiratkan pula bahwa apa yang menurut kita baik, belum tentu baik bagi kita. Belajarlah untuk senantiasa menerima dengan lapang dada, dan tidak segan bersikap pro aktif, memberi terlebih dahulu. Yakinlah, jika kita berani memulai, pasangan kita pasti akan lebih membuka diri.
Proses komunikasi pun harus terus dikuatkan. Tanpa komunikasi yang baik, akan lahir persepsi sendiri yang akhirnya membuat kita tertekan, berkesimpulan negatif. Sebesar apapun masalah yang dihadapi, dengan komunikasi yang baik, intens, pasti dapat diselesaikan.
Ingatlah selalu kebaikan, kelebihan suami atau istri kita. Renungkan betapa beliau telah berkorban banyak untuk kita. Dengan kebaikan dan kelebihan pasangan kita, boleh jadi itulah yang akan melengkapi minus kita. Selain itu, dengan selalu mengingat kebaikan pasangan, kita mencoba mengeliminasi perbedaan yang ada, juga keinginan untuk membandingkan dengan oranglain. Bagaimana pun baiknya teman kita diluar, tetap saja hanya keliatan ’kulitnya’ saja, bisa jadi sifat aslinya tidak sebaik suami atau istri yang dianugerahkan Allah. Allah yang mempersatukan kita, tentu telah memberikan yang terbaik dan setara dengan kita, insya Allah.
Idealnya, rumah tangga yang dijalani itu dinamis, dapat saling mengembangkan potensinya, dan selalu diwarnai cinta. Maka, bila resah itu mulai ada, segera identifikasi dan perbaiki bersama. Bisa jadi ketika cinta harus diuji, inilah saatnya untuk mengulang hal-hal indah yang dulu pernah dirasakan. Bukankah badai di lautan membuat nahkoda kapal menjadi lebih teruji dan lebih siap menghadapi badai-badai selanjutnya? Begitupun dengan kita, prahara yang terjadi, akan membuktikan bahwa ternyata kita dan pasangan saling membutuhkan dan dengan dibingkai cinta, insya Allah akan kian kokoh, demi menghadapi hari-hari esok.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Berkomentarlah dengan bijak, menggunakan kata-kata yg sopan ConversionConversion EmoticonEmoticon